AWAS! Perokok Aktif Beresiko Terkena Tuberkulosis Lebih Besar, Begini Penjelasan Ahli

- 5 Desember 2022, 19:00 WIB
AWAS! Perokok Aktif Beresiko Terkena Tuberkulosis Lebih Besar, Begini Penjelasan Ahli
AWAS! Perokok Aktif Beresiko Terkena Tuberkulosis Lebih Besar, Begini Penjelasan Ahli /Via/Freepik

JOMBANG UPDATE -  Guru Besar FKUI Prof Tjandra Yoga Aditama mengingatkan kepada masyarakat bahwa perokok aktif berisiko lebih besar untuk sakit dan mengalami kematian akibat tuberkulosis (TB) dan terganggunya penyembuhan pada penyakit TB.

Ia menyebutkan data memperlihatkan satu dari lima pasien TB di dunia berhubungan dengan kebiasaan merokok.

Data dari Global Adult Tobacco Survey (GATS) pada 2021 menunjukan sekitar 34,5 persen penduduk di Indonesia merokok atau konsumsi tembakau dalam berbagai jenis.

Baca Juga: Sinopsis dan Daftar Pemain The Interest of Love, Drama Korea Yoo Yeon Seok dan Moon Ga Young

Baca Juga: Rilis Mini Album Move Again, KARA Ungkap Kebahagaiaan Comeback Usai 7 Tahun Hiatus

Selain itu, sekitar 70,2 juta orang dewasa di Indonesia sendiri menggunakan produk berbahan tembakau saat ini baik dikonsumsikan setiap hari atau jarang.

Rinciannya sebanyak 33,5 persen perokok, 1 persen menggunakan tembakau untuk dikunyah dan 3 persen menggunakan rokok elektronik.

Sementara itu secara jenis kelamin 66,5 persen laki-laki dan 3,3 persen perempuan di Indonesia adalah orang merokok atau menggunakan produk tembakau.

Prof Tjandra berpendapat, perlu integrasi program TB, program rokok dan salah satu bentuk nyata seperti setiap pasien TB harus ditanyakan tentang riwayat kebiasaan merokok.

Bila pasien mengiyakan maka harus segera masukan dalam program berhenti merokok yang tersedia pada puskesmas maupun rumah sakit.

"Saat ini Kementerian Kesehatan dalam proses akhir penyusunan buku Pedoman Integrasi Layanan Upaya Berhenti Merokok dan Tuberkulosis di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, yang mudah-mudah dapat segera diselesaikan dan diterapkan di lapangan," kata Prof Tjandra dikutip JOMBANG UPDATE dari Antara.

Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI juga mengingatkan selain terkena tuberkulosis (TB), merokok bisa beresiko terkena penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).

Saat ini sedang dilakukan uji coba pada beberapa kabupaten untuk melakukan deteksi PPOK pada perokok dengan kuesioner lalu dikonfirmasi melalui spirometri.

Setelah itu para perokoknya dimasukan dalam program berhenti merokok.

"Tahap ini masih dalam bentuk konsultasi tetapi ke depan akan digunakan juga obat dan atau alat tertentu," tutur Prof Tjandra.

Baca Juga: Balenciaga Minta Maaf Terkait Kontroversi Kampanye Iklan

Baca Juga: Terong Masak Begini Bikin Nagih, Tambahkan Sambal Santan Bisa Abisin Nasi Satu Bakul!

Ia melanjutkan selain itu merokok berhubungan dengan kejadian stunting.

Ia menemukan Data Deputi Kepala BKKBN pada pertemuan ketujuh Walikota/Bupati se Asia Pasifik tentang kesehatan (“7th Asia Pacific Summit of Mayors”) 2 Desember 2022 di Bali.

Menunjukan hasil data bahwa anak yang memiliki orang tua tidak merokok tumbuh 1,5 kg lebih berat dan 0,34 cm lebih tinggi daripada angka yang memiliki orang tua perokok.

Apabila anak tidak terpapar rokok, makan angka stunting dapat menurun sampai satu persen.

Kebiasaan merokok atau menggunakan tembakau pada masa kehamilan bisa meningkatkan resiko terjadi stunting pada anak.

Ia menambahkan jika orang ingin berhenti merokok, selain di puskesmas mereka bisa ikut program Quitline berhenti merokok dengan hubungi nomor telepon 08001776565 untuk mendapatkan arahan menghentikan kebiasaan merokok.***

Editor: Abdul Rouf


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x