Nyawa Taruhannya, PCR Harusnya Gratis Bukannya jadi Bisnis

3 November 2021, 08:23 WIB
Nyawa Taruhannya, PCR Harusnya Gratis Bukannya jadi Bisnis /Antara/Wahdi Septiawan

JOMBANG UPDATE - Kontroversi reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) menjadi ladang bisnis tengah banyak diperbincangkan publik.

Aturan para penumpang pesawat harus menjalani tes PCR menjadi polemik lantaran hanya berlaku bagi penumpang di sektor penerbangan.

Pandemi Covid-19 yang merengut banyak nyawa masyarakat Indonesia, membuat banyak pihak mendesak pemerintah untuk meng-gratiskan PCR.

Baca Juga: Kemenkes Turunkan Harga Tes PCR, Angin Segar Bagi Pekerja Jarak Jauh dan Pelancong

Baca Juga: Info Swab PCR Gratis di Jakarta Timur Terbaru Hari Ini, Cek Lokasi beserta Persyaratannya!

Nyawa taruhannya, benarkan PCR harusnya gratis bukannya jadi ladang bisnis?

Berikut JOMBANG UPDATE merangkum informasi seputar kontroversial PCR yang dikutip dari Pikiran-Rakyat.com dalam artikel Bisnis Nyawa Rp23 Triliun, Tes PCR Seharusnya Gratis.

Test PCR

Pemerintah masih menetapkan pandemi Covid-19 sebagai bencana manusia nonalam. Dalam status seperti itu dan anggaran yang terbatas, sebagian penanggulangannya dibebankan kepada masyarakat. Salah satunya adalah tes atau pemeriksaan reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) untuk perjalanan udara.

Selain biayanya masih relatif mahal, kewajiban syarat tes PCR untuk perjalanan penerbangan pun menjadi kontroversi. Soalnya, tes PCR hanya diberlakukan untuk sektor penerbangan.

Dalam konteks pelayanan tes PCR, dampak lanjutan dari ketidakmampuan pemerintah itu kemudian dibebankan kepada penyedia layanan kesehatan dan masyarakat.

”Kenapa dari awal pemerintah tidak menanggung biaya pokok screening yang sifatnya program, seperti screening untuk tenaga kesehatan? Untuk lokasi yang strategis? Untuk perjalanan-perjalanan yang diperbolehkan?” kata Ketua Umum Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia, Mahesa Paramadipa dalam diskusi webinar bertajuk ”Ribut-ribut PCR”, Sabtu 30 Oktober 2021.

Baca Juga: Demi Antisipasi Penularan Covid-19 di Sekolah, Ini Dia Solusi Dinkes Surabaya untuk Mengatasinya!

Baca Juga: Update! 7 Tempat Wisata Bali yang Sudah Buka, Cek Harga Tiket dan Aturan Saat Pandemi Covid-19

Mahesa menilai, akibat dari hal tersebut, masyarakat berkorban lebih banyak lagi dalam hal tes PCR.

Padahal, pemerintah seharusnya memperhitungkan modal PCR setelah menerima masukan dari beragam pihak yang ber kepentingan.

Mahesa justru menilai, merujuk sesuatu aturan dalam kondisi darurat, sejatinya konsep tes pemeriksaan PCR seharusnya bisa sama dengan vaksinasi Covid-19 yang digratiskan dari pemerintah. Hal itu sebagaimana kondisi darurat yang diatur di dalam UU Kesehatan dan dalam pe nanggulangan bencana dalam situasi darurat.

”Pandemi masuk ke bencana nonalam, pemerintah pusat dan daerah menanggung semua pembiayaan semua prasarana, termasuk di dalamnya penanggulangan wabah dan beberapa turunan. Salah satunya tindakan epidemiologis, tes PCR sebagai metode skrining atau testing. Mengacu pada UU, maka seharusnya pembiayaan PCR dalam skrining program pemerintah harusnya ditanggung,” ujarnya.

Saat ini, kata Mahesa, adalah situasi yang menyakitkan masyarakat karena lebih berkorban banyak.

”Kita harus keluarkan biaya dan bersedia dicolok terus itu sebuah kondisi yang menyakitkan. Ada hal-hal ditanggung, tapi malah keluar biaya,” katanya.

Sementara itu, anggota Ombudsman Robert Endi Jaweng mengatakan, ada diskriminasi ganda akibat kebijakan pemerintah terkait tes PCR.

Diskriminasi pertama adalah terkait finansial, yakni warga negara yang menggunakan pesawat diwajibkan tes PCR.

Baca Juga: Hari Libur November 2021 Lengkap dengan Daftar Hari Besar Nasional

Baca Juga: Puncak La Nina Terjadi 2022, BMKG Beri Peringatan Dini

Warga negara itu dianggap mampu secara finansial karena bisa naik pesawat sehingga diberi beban lebih berupa tes PCR.

”Diskriminasi berikutnya adalah diskriminasi terkait ke selamatan yang merujuk ke aturan pengguna transportasi darat yang tidak diwajibkan tes PCR. Hal ini seolah-olah membiarkan warga negara terekspos risiko penularan yang tinggi,” katanya.

Turun tangan

Ombudsman berharap, pemerintah menggratiskan tes PCR bagi masyarakat yang membutuhkan.

Pasalnya, banyak warga yang butuh melakukan tes tersebut, tetapi tidak bisa karena alasan biaya.

”Kalau kita bicara barang publik, itu harus memperhatikan yang namanya ability to pay, kemampuan masyarakat untuk membayar,” kata Anggota Ombudsman Robert Endi Jaweng.

Menurut Robert, jika ada ketidakmampuan masyarakat melakukan tes PCR, pemerintah harus turun tangan dan memberi solusi.

”Jika ada sebagian atau bahkan mungkin semua masyarakat tidak berada dalam kemampuan optimal, kemudian negara harus masuk. Masuknya lewat apa, subsidi. Bahkan kalau memang ini barang publik murni, digratiskan,” ujarnya.

Menurut Robert, mayoritas masyarakat sudah mengerti dan paham tentang antisipasi penyebaran Covid-19 melalui testing PCR.

Akan tetapi, harga tes PCR tidak sesuai dengan kemampuan ma syarakat. Oleh karena itu, ia meminta tes PCR digratiskan seperti vaksinasi.

”Kalau kita bicara dalam konteks barang publik, kalau ada vaksin program, mestinya ada PCR program. Sebenarnya, bahasa gratis itu bukan bahasa yang tepat dalam konteks barang publik, tapi untuk mempermudah pemahaman, karena satu sisi ada vaksin program, bolehlah kita menyebutnya vaksin gratis, PCR gratis,” ucapnya.

Dalam diskusi lain dengan tema ”Plus Minus Tes PCR untuk Seluruh Moda Transportasi", Ketua Perkumpulan Dokter Indonesia Bersatu, dr. Eva Sri Diana Chaniago mempertanyakan urgensi wajibnya tes PCR di seluruh moda transportasi.

”Saya ini sebagai dokter yang berada di lapangan. Saya sehari-hari bersentuhan dengan pasien Covid-19, mohon maaf, urgensinya di mana ini?” katanya, Sabtu 30 Oktober 2021.

Di lain pihak, Sekjen Organisasi Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium Indonesia, Rendy H. Teguh mengatakan, penyeragaman tes PCR yang dikeluarkan pemerintah membingungkan.

Soalnya, harga tes PCR tak bisa diseragamkan. Renny beralasan, terdapat beberapa komponen di dalamnya yang memerlukan perhitungan tersendiri, mulai dari yang berkaitan dengan jenis-jenis PCR, investasi alat hingga teknologi yang berdampak kepada kecepatan hasil tes PCR.

”Kalau harga diseragamkan, bingung juga,” ujarnya.

Sementara itu, anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PKS, Kurniasih Mufidayati berharap pemerintah tidak mengeluarkan aturan yang menyulitkan dan menambah beban rakyat.

Persoalannya, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah saat ini berubah-ubah dan dalam beberapa hal tidak sinkron.

Diskriminasi syarat PCR bagi publik disadari pemerintah. Kementerian Perhubungan tengah melakukan pembahasan lintas kementerian dan lembaga terkait rencana implementasi tes PCR sebagai syarat perjalanan di semua moda transportasi.

Akan tetapi, Juru Bicara Kementerian Perhubungan Adita Irawati mengatakan, saat ini pemerintah masih fokus pada penerapan wajib PCR di moda transportasi udara, sekaligus melakukan evaluasi dari waktu ke waktu.

”Pak Menko Marves sudah menyatakan hal tersebut (kewajiban PCR untuk semua moda transportasi). Untuk teknisnya tentu harus dibahas bersama semua kementerian dan lembaga terkait dulu,” kata Adita.

Kepentingan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan mengkritik kebijakan tes PCR atau tes deteksi Covid-19 yang diduga menguntungkan kelompok bisnis tertentu.

Koalisi yang terdiri atas ICW, YLBHI, LaporCovid-19, Lokataru tersebut menyatakan, penurunan harga jasa pelayanan pemeriksaan PCR oleh pemerintah tidak mencerminkan asas transparansi dan akuntabilitas.

Kebijakan tersebut diduga hanya untuk mengakomodasi kepentingan kelompok tertentu yang memiliki bisnis alat kesehatan, khususnya ketika PCR jadi syarat untuk seluruh moda transportasi.

Ketentuan mengenai harga pemeriksaan PCR setidaknya telah berubah empat kali. Saat awal pandemi, harga PCR belum dikontrol pemerintah sehingga harganya sangat tinggi, bahkan mencapai Rp2,5 juta.

Pada Oktober 2020, pemerintah baru mengontrol harga tes PCR menjadi Rp900.000. Sepuluh bulan kemudian, harga PCR kembali turun menjadi Rp495.000-Rp525.000 akibat kritik masyarakat yang membandingkan biaya di Indonesia dengan di India.

Terakhir, 27 Oktober 2021 lalu pemerintah menurunkan harganya menjadi Rp275.000-Rp300.000.

Koalisi mengingatkan, ketika lonjakan angka positif Covid-19 pada Juli 2021, harga tes PCR saat itu Rp900.000 yang membuat tidak seluruh masyarakat dapat mengakses pemeriksaan tersebut.

Meski sebulan setelahnya turun akibat desakan masyarakat dan perbandingan biaya pemeriksaan dengan India, koalisi menilai, pemerintah tidak menggunakan prinsip kedaruratan kesehatan masyarakat dan mementingkan kepentingan kelompok bisnis tertentu.

”Penurunan terakhir harga PCR itu terkesan hanya untuk menggenjot mobilitas masyarakat,” kata Muhamad Isnur mewakili koalisi itu.

Dari seluruh rangkaian perubahan tarif pemeriksaan PCR sejak awal hingga akhir, koalisi mencatat setidaknya ada lebih dari Rp23 triliun uang yang berputar dalam bisnis tersebut.

Total potensi keuntungan yang didapatkan sekira Rp 10 triliun lebih. Ketika ada ketentuan yang mensyaratkan penggunaan PCR untuk seluruh moda transportasi, perputaran uang, dan potensi keuntungan yang didapatkan tentu akan meningkat tajam. Kondisi tersebut menunjukkan pemerintah gagal menjaminan keselamatan warganya.

Berdasarkan anggaran penanganan Covid-19 sektor kesehatan tahun 2020, diketahui realisasi penggunaan anggaran untuk bidang kesehatan hanya 63,6 persen dari Rp99,5 triliun.

Kondisi keuangan tahun ini pun demikian. Per 15 Oktober diketahui bahwa dari Rp193,9 triliun alokasi anggaran penanganan Covid-19 untuk sektor kesehatan, baru terserap 53,9 persen.

Dari kondisi tersebut, sebenarnya pemerintah masih memiliki sumber daya untuk memberikan akses layanan pemeriksaan PCR secara gratis kepada masyarakat.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan mendesak pemerintah menghentikan segala upaya untuk mengakomodasi kepentingan bisnis tertentu melalui aturan.

Kementerian Kesehatan juga harus membuka informasi mengenai komponen pembentuk tarif pemeriksaan PCR beserta dengan besaran persentasenya.

Selain itu, pemerintah harus menggratiskan pemeriksaan PCR bagi seluruh masyarakat.***
(Satrio Widianto, Bambang Arifianto, Muhammad Ashari/Pikiran-Rakyat.com)

Editor: Apriani Alva

Tags

Terkini

Terpopuler