Krisis Ekonomi Lebanon dan Sri Lanka Gara-Gara Siapa? Ternyata Ini Penyebabnya

26 Juni 2022, 11:17 WIB
Para ahli mengklaim, belasan negara akan mengalami nasib yang sama seperti Lebanon dan Sri Lanka karena efek pemulihan ekonomi pasca pandemi dan perang di Ukraina yang memicu kekurangan pangan global serta melonjaknya harga. Lalu salah siapa jika Lebanon dan Sri Lanka mengalami krisis ekonomi /unsplash/Charbel Karam

JOMBANG UPDATE - Lebanon dan Sri Lanka saat ini tengah mengalami krisis ekonomi yang menyebabkan rakyatnya hidup di bawah garis kemiskinan.

Rakyat Sri Lanka dan Lebanon harus merasakan kelaparan, antrian bensin yang mengular hingga inflasi tiga digit.

Kelas menengah warga Sri Lanka hancur usai pandemi Covid-19 termasuk Lebanon yang juga mengalami peperangan.

Efek pandemi Covid-19 dirasakan banyak negara, bukan hanya Sri Lanka dan Lebanon.

Baca Juga: Ekonomi Sri Lanka Carut Marut, TKW Muda Diizinkan Kerja ke Luar Negeri, Sebelumnya?

Baca Juga: Sri Lanka Bangkrut, India Pasok Beras hingga Obat-Obatan, Kondisi Rakyat Memprihatinkan

Para ahli bahkan mengklaim, belasan negara akan mengalami nasib yang sama seperti Lebanon dan Sri Lanka karena efek pemulihan ekonomi pasca pandemi dan perang di Ukraina yang memicu kekurangan pangan global serta melonjaknya harga.

Lalu salah siapa jika Lebanon dan Sri Lanka mengalami krisis ekonomi?

Dikutip JOMBANG UPDATE dari Qantara, akar masalah krisis ekonomi yang dialami Lebanon dan Sri Lanka ternyata para pemimpin negara tersebut.

Krisis ekonomi di Lebanon dan Sri Lanka berakar dari keserakahan, korupsi dan konflik yang terjadi selama beberapa dekade.

Dua negara tersebut mengalami perang saudara yang berlarut-larut dan tidak mendapatkan pemulihan secepatnya.

Sementara itu, dominasi perang, korupsi dan para pemimpin negara yang menimbun hutang luar negeri menjadi alasan Sri Lanka dan Lebanon mengalami kebangkrutan.

Hal itu semakin parah dengan sifat keras kepala pemimpin yang mempertahankan kekuasaan.

Situasi di Sri Lanka, Presiden Gotabaya Rajapaksa masih memegang kekuasaan, meskipun dinasti keluarganya telah runtuh di tengah protes sejak April 2022.

Baca Juga: Covid-19 Terdeteksi, Restoran di Macau Tak Sediakan Makan Malam, Kasino Tetap Buka

Baca Juga: Apa Itu Commonwealth Games? Catat Jadwal Pesta Olahraga Persemakmuran 2022

Pada ambang kebangkrutan tersebut, negara Sri Lanka telah menangguhkan pembayaran pinjaman luar negerinya dan memperkenalkan kontrol modal di tengah kekurangan yang parah.

Alhasil rupee Sri Lanka telah melemah hampir 80% menjadi sekitar 360 hingga $1, membuat biaya impor semakin mahal.

Di sisi lain, berbagai pemberontakan rakyat terjadi di Lebanon yang membuat goyah situasi politik.

Perpolitikan di Lebanon telah lama menggunakan sistem pembagian kekuasaan sektarian negara yang memberikan celah untuk korupsi dan nepotisme.

Di tengah persaingan antar faksi, kelumpuhan politik dan disfungsi pemerintahan semakin memburuk, akibatnya Lebanon menjadi salah satu negara Timur Tengah yang paling terbelakang dalam infrastruktur dan pembangunan.

Kondisi tersebut membuat rakyatnya terpaksa merasakan pemadaman listrik ekstensif yang berlangsung 32 tahun setelah perang saudara berakhir.

Di Sri Lanka, keluarga Rajapaksa telah memonopoli politik di negara kepulauan tersebut selama beberapa dekade.

Bahkan sekarang, Presiden Gotabaya Rajapaksa masih memegang kekuasaan, meskipun dinasti keluarga di sekitarnya telah runtuh di tengah protes sejak April.

Para ahli mengatakan krisis saat ini di kedua negara adalah akibat mereka sendiri, termasuk tingkat utang luar negeri yang tinggi dan sedikit investasi dalam pembangunan.

Selain itu, kedua negara telah berulang kali mengalami ketidakstabilan dan serangan teroris yang menjungkirbalikkan pariwisata.

Padahal sektor wisata menjadi andalan ekonomi Sri Lanka dan Lebanon.

Momen kelam terjadi di Sri Lanka, bom bunuh diri Paskah di gereja dan hotel menewaskan lebih dari 260 orang pada tahun 2019.

Lebanon telah menderita akibat perang saudara tetangga Suriah, yang membanjiri negara berpenduduk 5 juta dengan sekitar 1 juta pengungsi. Kedua perekonomian kemudian kembali terpukul dengan dimulainya pandemi virus corona.***

Editor: Apriani Alva

Tags

Terkini

Terpopuler